Senin, 23 Juli 2012




Seringkali pada saat kita bertemu dengan para yang mengaku katanya broadcaster, kita mendapati cacian hanya karena pada saat kita membuat program acara tv baik drama dan nondrama menggunakan camera sejenis Panasonic MD 10000 atau menggunakan Handycam, mereka akan mengatakan itu bukan camera standar broadcast! Begitu lantangnya berbicara. Kejadian ini dialami oleh penulis sendiri ketika berkunjung ke salah satu Akademi Multimedia dan Broadcast TV terkenal di kota pelajar, di sana saya mendapati tanggapan kurang positif dari meraka. Sebagian menganggap bahawa peralatan broadcast tv itu sangat mahal, hingga mengatakan apa itu SMK Broadcast TV apa itu Akademi Broadcast? Wong alat [baca: camera] yang digunakan saja cuma handycam ko dibilang sekolah broadcast. Cibiran ini terus datang dan penulis dengar hingga kini, tulisan ini akan sedikit mengurai dan memberikan pemahaman tentang Broadcast Standar Equipment yang digunakan di seluruh dunia.

Pada prinsipnya broadcast adalah penyiaran, sejak munculnya computer dan jaringan kemudian muncullah yang disebut multimedia. Kemunculan multimedia ini menjadikan istilah media rekam seperti film dan tv menjadi sedikit absurd dan rancu. Meskipun perkembangan multimedia menjadi tonggak kebangkitan dunia komunikasi modern yang tanpa sekat [baca: tedeng aling-aling], dan juga sangat membantu dalam menyebarkan informasi apapun issunya. Multimedia pulalah yang menggabungkan sistem komunikasi dan informasi masuk dan keluar dari segala penjuru arah. Baik, penulis tidak akan membahas multimedia hal ini hanya sebagai pengetahun umum bagi para broadcaster.

Broadcast equipment yang ada hari ini telah berkembang, dan media apapun bisa masuk televisi sebagai alat rekamnya. Tak heran jika salah satu stasiun tv ada yang mengambil seluruh content program acaranya diambil dari Youtube dengan tingkat resolusi gambar yang jelek bahkan cenderung kabur, tapi acara ini mengalami peningkatan rating yang baik hingga acara sejenis pun diproduksi lagi dengan nama yang beda dan konten yang beda pula tapi sumber tetap mengambil dari Youtube. Jika kita perhatikan seksama terkenalnya beberapa artis dadakan juga terkenal dari Youtube ini dengan merekam gambar dengan kamera seadanya dan kemudian di-upload (ungguh), justru menjadi terkenal. Apakah gambar yang mereka rekam standar broadcast?

Perkembangan gadget juga mengalami revolusi yang luar biasa, dari yang tadinya hanya untuk menikmati musik kini beberapa gadget telah merekomendasikan bisa untuk melihat dan merekam dengan berbagai kualitas ada yang berformat mpeg, mp4, 3g, mov, dll.

Nah ternyata jika kita simpulkan dari kasus yang ada maka akan mengkrucut menjadi sebuah resume. Pada dasarnya equipment broadcast  terbagi menjadi 3 yakni: Consumer Equipment, Prosumer Equipment, dan Professional Equipment.

CONSUMER EQUIPMENT
Equipment jenis ini didesain bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kecenderungan pengguna kalangan pe-hobby, Mempunyai ciri:
  • Kebanyak penggunanya adalah kalangan pe-hobby dan keluarga
  • Fitur yang disediakan dari equipment ini adalah serba automatis (full automatic)
  • Harga relatif lebih murah
  • Tidak tahan banting dan cenderung lebih ringkih
  • Mempunyai resolusi gambar yang rendah masih SD-SDTV (Standard – Definition Television)


PROSUMER EQUIPMENT
Peralatan Prosumer, kadang dikenal sebagai peralatan industry digunakan untuk produksi yang sedikit lebih berat, dan kadang-kadang memberikan beberapa fitur profesional (seperti lensa kamera dapat diganti dengan lensa film), tetapi masih memiliki banyak fitur otomatis seperti yang terdapat peralatan consumer. Karena sifatnya kombinasi portabilitas dan kualitas, maka jenis ini lebih rendah biayanya dibandingakan peralatan professional sehingga para professional pun kadang menggunakan alat ini dengan menambah berbagai kombinasi alat yang lain seperti penggunaan lensa. Prosumer Equipment mempunyai ciri:
  • Pengguna adalah home indutri atau mendekati professional
  • Fitur yang tersedia sudah memiliki fitur manual tetapi tidak full (campuran automatic dan manual)
  • Harga agak lebih mahal dari kelas Consumer
  • Tidak tahan banting tetapi tidak ringkih
  • Mempunyai resolusi gambar yang cenderung lebih baik dari kelas Cosumer namun masih SD-SDTV (Standard – Definition Television) belum HDTV (High Definition Television), meskipun beberapa ada yang sudah HDTV tetapi harga cukup mahal. 


PROFESSIONAL EQUIPMENT
Kamera jenis ini dirancang khusus untuk kebutuhan produksi yang tinggi dengan tingkat pemakaian yang berat, berkualitas tinggi dari semua aspek komponen termasuk lensa. Mempunyai ciri:
  • Pengguna sebagian besar para professional broadcast indutri besar di dunia pertelevisian dan PH
  • Fitur yang tersedia bisa dibilang full manual karena hampir sebagian besar menggunakan setting-setting manual meskipun memiliki masih fitur auto, tetapi jika ingin menghasilkan gambar dan visual yang bagus menggunakan setting manual
  • Harga relative lebih mahal bahkan sangat mahal
  • Memiliki standar fungsi yang tinggi, HDV resolution dengan warna yang stabil tidak cacat atau distorsi.
  • Sangat stabil dan handal. 
  • Untuk mendapatkan hasil yang maksimal peralatan yang lain pun harus seimbang, misalnya pada saat postproduction. Mesin editing yang digunakan harus benar-benar compatible.
  • Cukup kuat dan tahan segala kondisi seperti getaran, gundukan, goncangan, debu, panas, dan hujan) bila digunakan dalam kondisi yang sangat menuntut. 


Perjalanan Regulasi Penyiaran di Indonesia



REGULASI yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.
Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.
Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI, Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor 005/PUU-I/2003.
Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran terbit.
PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan KPI atas nama Negara.
Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi, bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.
Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku. Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya menanti kepastian proses perizinan.
Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.
Permasalahan lain, ketika dalam PP-PP Penyiaran terjadi pembagian kaveling kewenangan dalam memproses izin bahwa kaveling KPI adalah dalam hal pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan kaveling pemerintah (menteri) dalam hal pemeriksaan kelengkapan administrasi dan data teknik penyiaran. Dalam hal melaksanakan tugasnya di daerah menteri dalam PP-PP penyiaran tersebut dibantu oleh pemerintah di daerah. Permasalahan yang muncul adalah pembagian tugas antara menteri dan pemerintah di daerah belum jelas bagaimana pelaksanaannya mengingat peraturan yang memayunginya belum ada. Jadi, menteri belum dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya. Bahkan, penulis sempat beberapa kali didatangi pejabat dinas infomasi dan komunikasi yang ada di daerah menanyakan kepada penulis apa yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya dalam membantu menteri sebagaimana tersurat dalam PP-PP Penyiaran tersebut. Jawaban yang bisa penulis sampaikan adalah sebelum peraturan yang menjadi dasar pembagian tugas tersebut belum ada, maka akan sulit bagi pemerintah di daerah melaksanakan tugasnya di lapangan. Jadi ketika peraturan penjelas dari PP-PP Penyiaran ini tidak segera diterbitkan pemerintah, kondisi penyiaran di Indonesia khususnya di Jawa Barat akan jauh dari tertib. Jadi, saat ini, bola ada di tangan pemerintah. KPI dan masyarakat tinggal menunggu langkah apa yang akan segera pemerintah lakukan demi menjawab kegelisahan masyarakat tersebut.***

Sumber :
M.Z. Al-Faqih
Penulis, anggota KPI Daerah Jawa Barat periode 2004-2007, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Barat, dan pemilik "blog" www.seputar-penyiaran.blogspot.com.


Internet Broadcasting


Penggunaan teknologi streaming pada Internet broadcasting ini memungkinkan sebuah stasiun radio atau televisi melakukan siarannya menggunakan jalur Internet. Sebenarnya ada dua jenis layanan yang dapat disuguhkan oleh Internet broadcasting ini, yaitu on-demand dan live. Untuk yang on-demand, biasanya adalah broadcasting yang menyiarkan file media yang telah direkam sebelumnya. Stasiun televisi Indonesia yang sudah menggunakan teknologi Internet broadcasting on-demand adalah SCTV. SCTV menyediakan siaran ulang acara berita Liputan 6 yang dapat disaksikan di situs http://www.liputan6.com. Untuk stasiun radio yang on-demand misalnya siaran radio BBC edisi bahasa Indonesia yang dapat didengar di situs http://www.bbc.co.uk/indonesian.
Sedangkan Internet broadcasting yang live, atau biasa dikenal pula dengan istilah livecasting, menyiarkan suatu file media saat itu juga ketika suatu kejadian tengah berlangsung (real time). Salah satu stasiun radio Indonesia yang menggunakan teknologi livecasting ini misalnya radio Elshinta Jakarta, yang siarannya dapat didengar melalui situs pnm://elshinta.indosat.net.id/live.ra. Sedangkan untuk stasiun televisi di Indonesia, belum ada yang melakukan livecasting, kecuali untuk satu-dua acara tertentu saja yang sifatnya insidentil. Masalah utamanya adalah pada kesiapan infrastruktur Internet di Indonesia, karena livecasting ini memerlukan jaringan Internet dengan bandwidth dan kecepatan yang memadai.
Di luar negeri, khususnya di Amerika, livecasting ini bahkan sudah menjadi satu industri hiburan tersendiri. Misalnya seperti yang ditawarkan oleh situs http://www.liveconcerts.com dan www.liveonthenet.com.
Secara teknis, Internet broadcasting yang menggunakan teknologi streaming ini terbagi atas dua jenis, yaitu unicasting dan multicasting. Terkadang kita rancu antara istilah broadcasting, unicasting dan multicasting.
Broadcasting dalam keseharian (non Internet) sebenarnya adalah proses pengiriman data dari satu titik ke banyak titik, seperti kita mengirimkan sebuah e-mail ke mailing-list, setiap titik (anggota mailing-list) mau tidak mau akan menerima e-mail kita. Proses broadcasting ini berlaku pada pemancaran siaran radio atau televisi melalui gelombang udara (frekuensi) tertentu yang sebenarnya semua frekuensi tersebut diterima oleh antena pesawat penerima kita. Tinggal kita memilih frekuensi mana yang akan kita dengarkan (tuning).
Sedangkan unicasting adalah proses pengiriman data dari satu titik ke satu titik yang lainnya, dan non real time sebagaimana layaknya layanan dasar berbasis IP. Proses unicasting seperti kita mengirimkan e-mail yang isinya sama secara satu per satu ke rekan kita. Dengan unicasting, sebuah file media yang telah dibuat, kita simpan dahulu di sebuah media penyimpanan. Jika ada pengguna Internet yang ingin menikmati file media tersebut, maka file tersebut akan di-streaming-kan terlebih dahulu oleh sebuah streaming server sebelum disajikan ke komputer pengguna tersebut. Proses penyampaian file media dari media penyimpanan hingga ke komputer pengguna tersebut terjadi berulang-ulang, tergantung berapa banyak orang yang ingin menikmati file tersebut. Untuk itulah maka unicast cocok untuk Internet broadcasting yang non real time dan on-demand.
Lalu multicasting adalah proses pengiriman data dari satu titik ke banyak titik yang merupakan bagian dari satu grup tertentu dan yang memang menginginkan data tersebut, seperti apabila kita mengirimkan sebuah e-mail ke suatu mailing-list kelompok kerja yang terbatas. Multicasting ini real time dan saling berbagi rute antar titik untuk menuju ke titik tujuan yang beragam tersebut. Dengan multicasting, file media yang tengah kita buat langsung dibawa ke streaming server untuk di-streaming-kan dan hasilnya langsung disalurkan saat itu juga ke satu titik tertentu untuk disebarkan. Proses penyampaian file media dari proses pembuatan hingga ke komputer pengguna tersebut hanya terjadi sekali saja, yaitu saat file media tersebut dibuat untuk pertama kalinya. Untuk itulah maka multicast cocok untuk Internet broadcasting yang real time dan live (livecasting).

Sumber :

2008 Menjadi Era Teknologi Televisi Bergerak?

Keterkaitan antara menonton televisi dengan fakta bahwa satu dari enam orang di seluruh dunia memiliki sebuah telepon selular, merupakan potensi yang sangat besar untuk teknologi TV bergerak. Dengan basis pelanggan telepon selular yang besar, para analis di industri telekomunikasi Informa Telecoms dan Media memproyeksikan bahwa lebih dari 210 juta orang di seluruh dunia akan menonton televisi melalui perangkat bergerak pada tahun 2011. Selain itu, kawasan Asia Pasifik akan menjadi pemimpin pasar dalam pengembangan televisi bergerak.

Untuk mendukung agar televisi bergerak menjadi layanan di seluruh dunia, teknologi yang digunakan harus mendukung bisnis model dan ekosistem yang menyediakan insentif komersial. Secara khusus, operator nirkabel saat ini berusaha mencari solusi untuk menghadirkan televisi bergerak tanpa biaya terkait transfer data melalui jaringan bergerak generasi ketiga (3G).

Karenanya, pemain industri terkemuka berinovasi untuk menggunakan teknologi berbasis distribusi penyiaran one-to-many. Salah satu teknologi seperti ini adalah mediaFLO(TM). Tidak seperti jaringan 3G, MediaFLO merupakan standar penyiaran yang mampu menghadirkan video streaming dan audio secara langsung melalui spektrum band 8 mhz.

Sementara itu, berbagai channel atau content aside yang tersedia serta kehadiran layanan televisi bergerak sangat bergantung kepada kualitas audio dan video. Para penonton berharap dapat memperoleh pengalaman yang sama atau lebih baik dibandingkan dengan pengalaman menonton televisi di rumah.

Teknologi seperti DVB-H, DMB, dan DAB-IP juga merefleksikan sebuah jaringan yang menghadirkan layanan penyiaran multimedia. Selain itu, hal lain yang juga penting bagi penyedia layanan penyiaran multimedia adalah model televisi berlanggangan yang didukung oleh paket channel yang beragam dan terdiri dari layanan dasar dan premium yang memungkinkan broadcaster memperoleh keuntungan yang lebih besar bagi konten mereka.

Selain itu, standarisasi juga merupakan route penting di industri. FLO Forum, berusaha untuk menstandarisasi dan menghadirkan teknologi FLO secara global. Dalam periode yang sangat singkat, teknologi FLO telah menjadi referensi dalam ITU-R Recommendations sebagai Multimedia Systems M dan melalui beragam standar yang dipublikasikan oleh TIA TR47.1 Subcommittee termasuk standar untuk FLO air interface (TIA-1099, TIA-1120) dan spesifikasi kinerja minimum terkait (TIA-1102, TIA-1103 dan TIA-1104).

Di Eropa, Qualcomm telah menyelesaikan dua uji coba teknis MediaFLO dengan BSkyB di Inggris. Spektrum secara nyata akan berperan penting dalam peluncuran layanan dan regulator memproyeksikan analogue switchover paling lambat tahun 2012. Sejak saat itu, spektrum UHF akan dibebaskan bagi layanan penyiaran baru. Namun di beberapa pasar, komersialisasi secara nyata dapat terlaksana dalam jangka waktu 18 bulan mendatang, misalnya lelang spektrum L band yang akan diselenggarakan oleh regulator OFCOM di Inggris pada 2008 dan disusul di beberapa wilayah di Eropa.

Sementara itu di Asia, operator KDDI dan Softbank telah mengumumkan komitmen mereka dan secara aktif menjajaki pengembangan jaringan berbasis MediaFLO. KDDI telah membentuk sebuah joint venture dengan Qualcomm untuk menjajaki penggunaan teknologi MediaFLO dan Softbank telah menyatakan untuk membentuk perusahaan perencanaan sendiri. Para pemegang otoritas atas spektrum di Jepang juga secara aktif mengkaji rencana pengembangan pasar ini. Berbagai uji coba MediaFLO juga sedang dilaksanakan di Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan.
Dengan demikian, tahun 2008 akan menjadi tahun yang sangat penting bagi teknologi televisi bergerak, di mana jaringan komersial berkembang dan layanan berlangganan bagi pasar di seluruh dunia ditawarkan melalui jaringan nasional skala besar untuk pertama kalinya. Pasar akan menyerap beragam data terkait bagaimana pelanggan dapat menggunakan layanan televisi bergerak, konten apa yang ditawarkan para broadcaster dan tantangan seperti apa di masa depan. Satu hal yang pasti yaitu teknologi televisi bergerak akan tetap menjadi perdebatan di industri telekomunikasi di masa depan.